Keliling Bumi 2 Kali Sehari, Satelit Baru Ini Berfungsi Pantau Perubahan Iklim



Para ilmuwan sepakat, memiliki pengukuran yang konsisten untuk beberapa dekade adalah kunci memahami dampak jangka panjang dari perubahan iklim. JPSS-2 juga bisa berperan dalam memprediksi cuaca jangka pendek.

NASA meluncurkan Joint Polar Satellite System-2 (JPSS-2) ke luar angkasa pada Kamis (10/11). Ini adalah satelit pengamatan Bumi untuk meramalkan dan mengawasi cuaca ekstrem.

Dilansir dari The Verge, Kamis (10/11), satelit tersebut merupakan bagian dari sistem pengamatan global dan produk kemitraan antara NASA dan National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA).

Wakil asisten administrator untuk sistem di Satelit, Data, dan Layanan Lingkungan Nasional NOAA, Irene Parker mengatakan, perubahan iklim menjadi lebih ekstrem. Melampaui kemampuan satelit cuaca NOAA yang lama. Sehingga dibutuhkan alat yang lebih canggih untuk memantaunya.

"Dari 2017 hingga September 2022, AS telah mengalami 104 bencana. Sebagai perbandingan, dari 1987 hingga 1991, hanya ada 15," ungkap Parker dalam media briefing pra peluncuran, Rabu (9/11).

Dia mengumumkan JPSS-2 akan diluncurkan pada 10 November dini hari di atas roket United Launch Alliance Atlas V 401 dari Vandenberg Space Force Base di California. Di atas kapal itu juga akan ada uji pelindung panas atau LOFTID yang dapat membantu mendaratkan muatan berat di Bumi atau bahkan di planet lain seperti Mars.

Direktur program JPSS NOAA Tim Walsh mengatakan, NASA dan NOAA memiliki seluruh jaringan satelit yang mengarah ke Bumi untuk mengamati lingkungan. Salah satunya pendahulu JPSS-2 yakni Suomi NPP dan NOAA-20.

JPSS-2 akan bergabung dengan dua satelit ini dalam orbit kutub. Artinya, satelit ini akan mengelilingi dunia dari kutub ke kutub, berputar mengitari planet Bumi dua kali sehari.

"Untuk memprediksi cuaca lokal, kita perlu mengamati cuaca dari perspektif global ini," kata Walsh.

JPSS-2 akan melakukan pengukuran dengan empat instrumen. Termasuk Visible Infrared Imaging Radiometer Suite atau VIIRS, yang bertindak sebagai 'mata' satelit. Advanced Technology Microwave Sounder (ATMS) untuk mengamati awan dan melihat intensitas badai. Sedangkan Cross-track Infrared Sounder atau CrIS, menghasilkan tampilan 3D atmosfer dan Ozone Mapping and Profiler Suite atau OMPS. Tujuannya untuk mempelajari ozon di atmosfer.

Data dari instrumen ini dikombinasikan. Hasilnya akan membantu prakiraan cuaca, terutama dengan memantau lautan Atlantik dan Pasifik. Di darat, ada banyak stasiun cuaca yang mengumpulkan data. Namun, pengukuran dari lautan perlu dilakukan dengan pelampung cuaca yang jumlahnya relatif sedikit, sehingga data ini perlu dilengkapi dengan data satelit.

"Data JPSS adalah masukan utama ke dalam sistem pemodelan prediksi cuaca numerik global AS dan internasional," kata Jordan Gerth, ahli meteorologi dan ilmuwan satelit di National Weather Service NOAA.

"Pengamatannya global, prediksinya lokal. Dengan JPSS, kualitas prakiraan lokal tiga hingga tujuh hari sangat luar biasa."

Satya Kalluri, ilmuwan di Program JPSS NOAA mengatakan, prakiraan cuaca bukan satu-satunya alasan diluncurkannya satelit ini. Data JPSS-2 akan membantu mempelajari kondisi iklim lainnya. Semisal, kekeringan.

"Satelit mengambil gambar Bumi dua kali sehari, dan dengan gambar-gambar ini, kita dapat melihat kondisi kekeringan, yang sangat penting untuk meramalkan produktivitas pangan," kata Kalluri.

Dia menambahkan, kegunaan lain dari data satelit adalah mengukur warna laut. Ini dapat membantu memantau kesehatan ekosistem laut dan mengidentifikasi pertumbuhan alga yang berbahaya. Ini juga dapat mengukur kualitas udara dengan mengidentifikasi kabut asap atau asap dari kebakaran hutan, serta mengamati perubahan pada lapisan es kutub dan lubang di lapisan ozon.

sumber : merdeka

0 Komentar