Madre de Dios yang memiliki arti “Bunda para Dewa” adalah tempat hidup bagi keanekaragaman hayati di Peru Tenggara. Wilayah itu memiliki luas sekitar 3.500 kilometer persegi serta dihuni oleh hewan endemik yang tidak ditemukan di wilayah lain.
Pohon-pohon tinggi yang hidup selama lebih dari lima generasi umat manusia di Peru telah hancur di tangan para penebang liar. Hanya dalam kurun waktu 5 tahun, hampir 6 persen hutan di wilayah Madre de Dios telah hilang.
Angka ini mungkin tidak terlalu mengejutkan. Akan tetapi, jika laju deforestasi terus berlanjut, dalam waktu satu abad diperkirakan hutan di Peru akan semakin menipis.
Andrea Nicolau dari University of Alabama, bekerja sama dengan National Aeronautics and Space Administration (NASA), dan US Agency for International Development, telah memetakan kerusakan hutan di Peru dengan menggunakan citra satelit. Ini bertujuan untuk membantu mempercepat pengambilan keputusan tentang lingkungan hidup di wilayah tersebut.
Dalam penelitiannya, mereka menggunakan satelit Landsat 7 dan 8 dari 2013 hingga 2018 untuk pengamatan. Hasilnya, Nicolau menemukan sekitar 206 kilometer persegi di wilayah tersebut telah hilang.
Dalam penelitiannya, mereka menggunakan satelit Landsat 7 dan 8 dari 2013 hingga 2018 untuk pengamatan.
Hasilnya, Nicolau menemukan sekitar 206 kilometer persegi hutan di wilayah tersebut telah hilang.
Nicolau menggunakan analisis campuran spektral untuk mengidentifikasi jenis penutupan lahan tertentu, memberinya kemampuan untuk membedakan antara pembalakan liar dan pembukaan lahan untuk pertanian.
Kerusakan terbesar berada di zona penyangga di kawasan lindung, termasuk Cagar Alam Tambopata dan tanah yang menjadi milik komunitas asli Kotsimba.
Tim peneliti juga mencurigai pembangunan jalan raya antar-benua yang melintasi wilayah tersebut telah ikut andil dalam hilangnya ribuan pohon di tempat tersebut, terutama pada tahun lalu yang dinilai sebagai kehilangan pohon paling besar.
Kerusakan terbesar berada di zona penyangga di kawasan lindung, termasuk Cagar Alam Tambopata dan tanah yang menjadi milik komunitas asli Kotsimba. Tim peneliti juga mencurigai pembangunan jalan raya antar-benua yang melintasi wilayah tersebut telah ikut andil dalam hilangnya ribuan pohon di tempat tersebut, terutama pada tahun lalu yang dinilai sebagai kehilangan pohon paling besar.
0 Komentar